Cari Artikel
Jumat, 09 Juli 2010
Kasih sayang Ayah (Renungan)
Ayah mengutamakan pria meremehkan wanita, kesan ini sudah berurat akar dalam sanubariku sejak masa kanak-kanak.
Sejak kecil hingga dewasa, aku selalu mendapat pakaian bekas abangku.
Bagaimanapun seorang gadis yang mengenakan pakaian abang yang longgar dan usang,
rasanya sangat janggal. Saat pulang sekolah, aku selalu berlengah-lengah jalan di belakang,takut kepergok teman-temanku, yang akan mengejek dan mentertawakan sebagai bocah gadungan.
Abangku seorang laki-laki cacat, lebih tua 5 tahun dariku. Meski aku anak perempuan, tapi aku sangat tekun belajar, setiap ujian aku selalu dapat ranking pertama.
Seharusnya akulah yang paling pantas di sayang ayah. Karena hal ini,
aku selalu tidak terima akan sikap ayah terhadapku, aku menganggap ayah pilih kasih.
Suatu hari saat tahun baru, ayah lagi-lagi membelikan pakaian baru untuk abang, sedangkan aku tidak satu pun.
Akhirnya aku tak tahan lagi, melabrak ayah sambil berteriak : “Kau pilih kasih! Aku benar-benar tidak mengerti, ia hanya seorang laki-laki cacat, apa bagusnya meski berpakaian bagus sekalipun!
”mendengar itu, bukan main marahnya ayah dan menamparku.
Aku tidak menyerah dan mengangkat kepalaku, bak seekor singa yang lapar aku meraung sambil menatap ayah
“Aku tahu kau memandang rendah padaku, ayo pukul lagi! Kalau perlu bunuh saja sekalian!”muka ayah merah padam saking marahnya, kemudian hendak menampar lagi, tapi dicegah oleh ibu.
Sejak itu, aku makin benci sama keluarga ini, aku belajar dengan tekun,
dan berencana hendak meninggalkan keluarga ini setelah lulus ke perguruan tinggi
Abangku hanya sekolah beberapa tahun, setelah itu berhenti dan tinggal di rumah, prestasi belajarnya selama ini sangat memuaskan. Tapi tidak merasa menyesal untuknya, malah aku merasa nyaman “Siapa suruh kau cacat ?”
Setelah lulus SMU aku berhasil diterima di sebuah lembaga ilmu kedokteran.
2 tahun kemudian, aku menjalin asmara dengan seorang pria, kami berunding untuk membeli rumah di daerah kota.
Keluarga laki-laki tinggal di desa, keadaan ekonomi juga biasa-biasa saja,
kami telah menyimpan sebagian tabungan, tapi untuk kredit rumah masih kurang.
Aku harap keluarga bisa memberi sebagian tambahan, dan ketika aku menceritakan hal ini sama ayah, tak disangka ia langsung menolaknya “Uang tabungan keluarga dibutuhkan untuk biaya abangmu memperistri nanti!
Masalah pembelian rumah, kau pikirkanlah sendiri! Kalau uangmu tidak cukup,
tidak perlu beli yang terlalu besar!”ayah yang tidak mengerti perasaan membuat aku sungguh sangat kecewa.
Belakangan akhirnya pernikahan abang telah dibicarakan dan disetujui, yaitu seorang gadis desa tetangga yang polos.
Ayah mengeluarkan puluhan ribu dollar dan dengan cukup meriah menyelenggarakan pernikahan mereka.
Setelah menikah, aku juga sudah jarang pulang ke rumah. Beberapa hari yang lalu ayah ulang tahun yang ke-60 tahun, ibu meneleponku, tapi aku menolak dengan alasan lagi sibuk dan mungkin tidak bisa pulang.
Dengan kecewa ibu menutup telepon. Suamiku mengatakan, tidak baik kalau ulang tahun ayah sampai tidak menyempatkan diri untuk pulang. Suamiku memberi berbagai nasihat, dan akhirya aku pulang juga.
Ayah tampak sangat gembira, sibuk kesana kemari sambil bersenandung. Aku merogoh $ 200 untuk ayah.
Tapi Ayah menolaknya dengan alasan “Kalian juga bukan keluarga berada, simpanlah untuk kebutuhan sendiri nanti!”dengan nada datar aku berkata “Benar!Saat aku menikah juga tidak ada apa-apa, kami membeli sedikit demi sedikit,dan sudah hampir lengkap seperti yang dimiliki abang. “Ayah tahu ada makna lain dalam ucapanku, setelah itu tidak bicara lagi, dan sepanjang hari tidak terdengar lagi nyanyian falls-nya itu.
Malamnya, aku tidur bersama ibu. Pada malam itu ibu mengatakan “Dara manis, lain kali tidak boleh berkata begitu sama ayah,karena marah ayahmu hari ini menyeka air matanya!”aku berbisik pelan “Siapa suruh dia pilih kasih!”
ibu menarik napas panjang lalu berkata “Sayang, tahukah kau kenapa kaki abangmu cacat ?”aku menggelengkan kepala.
“Saat kau masih anak-anak, suatu ketika ayah membawamu dan abang menumpangi traktor pergi ke pekan raya, tapi traktor itu terbalik di tengah jalan, dengan instingnya ayah memelukmu dan meloncat keluar.
Namun, ketika ayah kembali lagi mencari abangmu, kaki abangmu telah tertindih di bawah roda.
Abangmu kemudian di bawah ke rumah sakit, dan meski nyawanya selamat, tapi meninggalkan cacat seumur hidup.
Dan sampai sekarang Ayahmu masih merasa sangat bersalah, Ia tidak melindungi kalian dengan baik sekaligus.
Tapi Ayah juga tidak mau aku menceritakan hal yang sebenarnya padamu, ayah takut kau akan memikul beban jiwa yang berat……”
Aku termangu, dan air mata berlinang membasahi wajahku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri komentar pada artikel ini