Pertanyaan:  Assalamualaikum wr wb. Mau Tanya. Kata Ustadz di  kampung saya, karena  Idul Adha besok jatuh pada hari Jumat, maka tidak  wajib sholat Jumat.  Apakah benar? Apa dalilnya? Jz. (Imroatun Azizah,  Bantul). 
Jawaban: 
 
1. Pendahuluan
 
Seperti  kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha  jatuh pada  hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun ini (2009),  Idul  Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27   Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya,   apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau   seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini   berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan melakukan   penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil   yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
 
Para  ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh   bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam   kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi,   disebutkan bahwa:
 
“Apabila  hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut  pendapat Imam Asy  Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur  dari penduduk  kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang  yang datang  dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat  Imam Asy  Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya,  boleh  bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut   pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat.   Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang   maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur   sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur.   Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu.  Maka  tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”
 
Ad  Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam   kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan   pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu   Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf   dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”
 
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
 
Pertama,  shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul  amshaar/ahlul  madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat  Jumat. Sedang  bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun  (ahlul  badaawi/ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan   shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni   orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka   terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam   Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
 
Kedua,  shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota  yang  ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari  kampung.  Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat  Jumat tetap  wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.
 
Ketiga,  tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun  bagi orang  yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat  zhuhur.  Demikian pendapat Imam Ahmad.
 
Keempat,  zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada  hari itu.  Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya  selain  shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan,  ini  juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.
 
2. Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah   pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah   sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang   jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk   menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh   juga tidak.
 
Hukum  Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya  tersebut,  lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.
 
Hukum  Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya  tersebut  memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan  shalat  zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
 
Hukum  Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan  shalat hari  raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak  dibenarkan  baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.
 
2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah   melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW   yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa   dia berkata : “Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat)   kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam  shalat  Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak  (shalat  Jumat), hendaklah dia shalat.” [Shallan nabiyyu shallallaahu  'alayhi wa  sallama al 'iida tsumma rakhkhasha fil jumu'ati tsumma qaala  man syaa-a  an yushalliya falyushalli] (HR. Al Khamsah, kecuali At  Tirmidzi. Hadits  ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
 
Diriwayatkan  dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda : “Sungguh  telah  berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa   berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu,   tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan   Jumat.” [Qad ijtama'a fii yawmikum haadza 'iidaani, fa man syaa-a   ajza-a-hu minal jumu'ati, wa innaa mujammi'uun] (HR. Abu Dawud, Ibnu   Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih,   dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan   ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain   menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari   raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan   dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama)   Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi   memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa   setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah   (kemudahan/keringanan).
 
Menurut  Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang  disyariatkan  untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya  suatu udzur  (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak  diharuskan  mengerjakan rukshshah itu.
 
Jadi  shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena  terdapat  udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena  rukhshah itu  tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat  masih tetap  disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak   dikerjakan. Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam   kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya   falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia   shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum   mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa   mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah   “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu   shalat Jumat.”
 
Kesimpulannya,  orang yang telah menjalankan shalat hari raya,  gugurlah kewajiban  atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh  menunaikan shalat  Jumat dan boleh juga tidak.
 
Mungkin  ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk  penduduk  kampung/desa (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat  mereka  tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota  (ahlul  amshaar/ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan  shalat  Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?
 
Yang  lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini  berlaku  secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk  kota.  Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum,  yaitu  dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang  mengandung  arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan  lafazh  umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang   mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan   (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di   atas berlaku secara umum.
 
2.2. Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal),   menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya,  antara  azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada  yang  lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang  menjelaskan  keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun  rukhshah.
 
Namun  dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat  Jumat  daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits  kedua)  terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami  akan  mengerjakan Jumat). Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW  menjadikan  shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan  boleh tidak,  akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan  shalat Jumat.  Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi  SAW sendiri  telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan  Nabi SAW  itu sifatnya sunnah, tidak wajib.
 
2.3. Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat   Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat  zhuhur,  tidak boleh meninggalkannya.
 
Wajibnya  shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah  disebut di  atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak  mencakup  pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur  adalah  kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah  hukum  pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum  pengganti  (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah  tuntutan  syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian  itu  adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan   berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan   atau mengubah berlakunya hukum asal.
 
Dengan  demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih  untuk  meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat  zhuhur.
 
2.4. Keterangan Hukum Keempat
 
Mereka  yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya,  wajib  atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan  baginya  untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah  untuk  meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah   melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat   hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib   hukumnya shalat Jumat.
 
Dalilnya  adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW  bersabda “fa  man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa  yang  berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya  itu,  tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum   mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia   tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
 
Imam  Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah  (penjelasan)  terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah  dalil bahwa  shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya–  menjadi rukhshah.  Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi  (rukhshah) itu khusus  bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak  mencakup orang yang tidak  menjalankan shalat Ied.”
 
Jadi,  orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk  yang  dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang   dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya.   Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, wajib atasnya shalat   Jumat.
 
3. Meninjau Pendapat Lain3.1. Pendapat Imam Syafi’i
  
Pada  dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh   bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut   hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun   penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang   datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di   tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak   mengerjakan shalat Jumat.
 
Sebenarnya  Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut  beliau,  hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat  pada  hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak   mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat   Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata :   “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak   menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat   bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang  apa  yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan   shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis   (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu   telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits   Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits   tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…”
 
Dengan  demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits  Zayd bin  Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak   menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat.   Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat   Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun   bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam   adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
 
Dalam  hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i   terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima   hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam   itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud).   Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah   hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits   lain menolaknya. Dalam kaitan ini Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam   Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh   cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak   menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli   hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para   ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan   hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… “
 
Maka  dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam  Syafi’i,  tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut  sebagai  dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang  menilainya  sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana   penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin   Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada   hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.
 
3.2. Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi   penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk   desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd   menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu   Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat   adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya.   Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali   jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”
 
Dari  keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga  tidak  menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada  hari  raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum  asal  masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat  Jumat.  Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam  Syafi’i.  Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa  hukum asal  tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang   menerangkannya.
 
Atas  dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih  menurut  Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut  Ad  Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi   takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian   menjadi rukhshah (tidak wajib).
 
Dengan  demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah  ditakhsis, bukan  hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi  rukhshah bagi  mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya  menjadi tidak  wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat menurut kami.
 
3.3. Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan   hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib   shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat   ‘Ashar.
 
Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu:
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana   diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya : “Dua hari raya (hari raya dan   hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu   Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya   sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat   itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” ['Iidaani ijtama'aa fii yawmin   waahidin, fajamma'ahumaa fashallahumaa rak'atayni bukratan lam yazid   'alayhaa hattaa shallal 'ashra]
 
Kedua,  shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat,  sedang  shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat  Jumat. Maka  dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur  pulalah hukum  penggantinya.
 
Ketiga,  yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah  memberi  rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan  untuk  shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
 
Demikianlah  alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani  tidak  menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau,   bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya   untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu   Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu   Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash   Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat   Jumat, bukannya shalat zhuhur.
 
Untuk  alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa  tidaklah  benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang  shalat  zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru   sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat   merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih   dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya  pada  malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih   belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur   adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika   shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal,   yakni mengerjakan shalat zhuhur.
 
4. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya   bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied),   gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat   Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap   melaksanakan shalat Jumat.
 
Kedua,  jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut  memilih  untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan  shalat  zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
 
Ketiga,  adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat  hari  raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk   meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat   zhuhur.
 
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
 
Ad  Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul  Ummah  (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin  Syukur  dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554  hal.
 
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.
 
Ash  Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun   Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
 
An  Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz  Ketiga  (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al  Tahrir.  492 hal.
 
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
 
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal. 
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
 
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
 
Sabiq,  Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2.  Cetakan  Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al  Ma’arif.  229 hal 
Syirbasyi,  Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa  Al Hayah).  Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya :  Al Ikhlas.  598 hal.
 
KH. M. Shiddiq Al-Jawi