Cari Artikel

Kamis, 09 September 2010

Bagaimanakah Kita Mengucapkan Selamat Hari Raya?

Segala puji bagi Allah salawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah keluarganya, para sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.Amma ba'du:ٍُ

Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa.

Setelah melaksanakan sholat hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha kita sering mendengar sebagian kita mengucapkan selamat kepada sebagian lain dengan ucapan yang beraneka ragam. Maka apakah status hukumnya menurut syariat Islam ?

Berikut ini akan kami sampaikan informasi seputar ucapan selamat hari raya yang disarikan dari kitab (Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adzahi Wal Iedain) karangan Syeikh Abul Hasan Mushthafa bin Ismail As Sulaimani hafidzahullah dimana beliau berkata:

Ibnu At-Turkimani telah menyebutkan dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqiy Hasyiah Al-Baihaqi (3/320-321), beliau berkata : Aku berkata : dan dalam bab ini – yakni ucapan selamat hari raya – ada satu hadits yang bagus yang dilupakan Al-Baihaqi, yaitu haditsnya Muhammad bin Ziyad, berkata : ketika itu aku bersama Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu anhu dan sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang lain, lalu apabila mereka pulang sebagian mengucapkan kepada sebagian lainnya : (Taqabbalallahu minna waminkum) (semoga Allah menerima amal kami dan kalian), Imam Ahmad bin Hanbal berkata : sanadnya baik.

Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam kitab Tamamul Minnah (356): dan beliau tidak menyebutkan siapa yang meriwayatkannya dan Imam Suyuthi telah menyandarkannya juga kepada Zahir dengan sanad yang bagus dari Muhammad bin Ziyad Al-Alhani – dan dia tsiqoh – berkata : lalu beliau menyebutkannya. Dan Zahir dia adalah Ibnu Thahir penulis kitab : (Tuhfatul Iedul Fithri) sebagaimana dikatakan Syeikh Al-Albani.

Dan Ibnu Qudamah telah menukil dalam kitab Al-Mughni (2/259) bahwa Imam Ahmad mengatakan sanadnya baik, Wallahu Alam mengenai derajat para perawi lain yang tidak disebutkan dalam atsar ini, namun aslinya perkataan Imam Ahmad diterima sampai kita menemukan yang menyelisihinya. Wallahu Alam.

Al-Ashbahani telah mengeluarkan riwayat dalam kitabnya At-Targhib Wa At-Tarhib (1/251) dari Shofwan bin Amru As-Saksasi berkata : Aku mendengar ketika diucapkan kepada Abdullah bin Busr, Abdur Rahman bin Aaidz, Jubair bin Nafir dan Khalid bin Mikdan pada hari- hari raya : (Taqabbalallahu minna waminkum), lalu mereka mengucapkannya kepada yang lain. Dan ini sanad yang cukup baik .

Dan disebutkan dalam kitab Fathul Bari (2/446) : diriwayatkan kepada kami dalam Al-Muhamiliyat dengan sanad yang baik dari Jubair bin Nufair berkata : dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila mereka bertemu pada hari raya sebagian mengucapkan kepada sebagian lain : (Taqabbalawahu minna waminkum).

Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata : aku tidak menemukan pernyataan dari Ibnu Hajar yang membaguskan sanadnya dalam salah satu kitabnya – meskipun salah seorang penuntut ilmu telah menunjukkan tempatnya – berkata : namun aku menemukannya dari Al-Hafidz As-Suyuthi dalam risalahnya Wushul Al-Amani Fii Wujud At-Tahaani (109) dan dalam satu edisi di perpustakaanku (82) dan kitab Al-Hawi juz 1 dari Al-Hawi Lil Fatawa dan beliau telah menyandarkannya kepada Zahir bin Thahir dalam kitab Tuhfah Al-Iedul Fithri, dan Abu Ahmad Al-Furadzi, dan diriwayatkan Al-Muhamili dalam kitab Al-Iedain (2/ 129) dengan sanad para perawinya tsiqoh, para perawi At-Tahdzib selain Syeikhnya Al-Muhanna bin Yahya dia tsiqoh baik sebagaimana ucapan Ad-Daruquthni, dan biographinya disebutkan dalam Tarikh Baghdad (13/166 – 268), maka sanadnya shahih.

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya : apakah makruh hukumnya seseorang mengucapkan kepada saudaranya apabila pulang dari sholat Ied : Taqabbalallahu minna waminka, waghafarallahu lana walaka (Dan semoga Allah Mengampuni kami dan kalian), dan saudaranya menjawabnya seperti itu ? beliau berkata : tidak makruh. (Al-Muntaqa 1/322).

Dalam kitab Al-Hawi (1/82) Imam Suyuthi berkata : Ibnu Hibban telah mengeluarkan dalam kitab Al-Tsiqot dari Ali bin Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Malik tentang ucapan orang-orang pada hari raya : Taqabbalallahu minna waminka, maka beliau berkata : hal itu masih terus berlaku seperti itu ditempat kami.

Dalam kitab Al-Mughni (2/259) beliau berkata : Ali bin Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Malik bin Anas sejak tiga puluh lima tahun lalu, dan beliau berkata : diMadinah masih dikenal hal seperti ini.

Dan dalam kitab Masail Abu Dawud (61) beliau berkata : Aku mendengar Ahmad ditanya tentang kaum yang diucapkan kepada mereka pada hari raya: Taqabbalallahu minna waminkum, beliau berkata : aku berharap hal itu tidak mengapa.

Dalam kitab Al-Furu oleh Ibnul Muflih (2/150) berkata : tidak mengapa mengucapkan kepada yang lain: Taqabbalallahu minna waminkum, sebagian menukilkannya sebagai jawaban, dan beliau berkata : aku tidak memulainya, dan dari beliau : semuanya bagus, dan dari beliau : makruh, dan ditanya kepada beliau dalam riwayat Hanbal : apakah dia boleh memulainya ? beliau berkata : tidak, dan Ali bin Said menukilkan : alangkah baiknya itu kecuali jika dikuatirkan ucapan itu menjadi terkenal, dan dalam satu nasihat : sesungguhnya itu perbuatan sahabat, dan bahwa itu perkataan ulama.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya dalam Majmu Fatawa (24/253) : apakah ucapan selamat hari raya yang biasa diucapkan orang-orang : Ied Mubarak (hari raya yang diberkahi), dan semacamnya, apakah ada dasarnya dalam syariat atau tidak ? dan kalau ada dasarnya dalam syariat, maka apa yang diucapkan, berilah fatwa kepada kami ?

Maka beliau menjawab : adapun ucapan selamat hari raya dimana sebagian orang mengucapkan kepada sebagian lain apabila bertemu setelah sholat Ied : Taqabbalallahu minna waminkum, dan semoga Allah Menyampaikanmu tahun depan, dan semacam itu maka ini telah diriwayatkan oleh sebagian sahabat bahwa dahulu mereka melakukannya, dan dibolehkan sebagian Imam seperti Ahmad dan lainnya, tetapi Ahmad berkata : aku tidak mahu memulainya lebih dahulu, namun jika seseorang mengucapkannya kepadaku maka aku menjawabnya, karena itu jawaban ucapan selamat yang hukumnya wajib, adapun mengucapkan selamat terlebih dahulu bukan merupakan sunah yang diperintahkan, dan juga bukan termasuk yang dilarang, baangsiapa yang mengerjakannya maka dia memiliki panutannya, dan siapa yang meninggalkannya maka diapun memiliki panutannya. Wallahu Alam.

Kesimpulan:

Menurut pendapat saya (Syeikh Abul Hasan): bahwa ucapan selamat lebih dekat kepada adat dari pada ibadah, dan dalam perkara kebiasaan dasarnya adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya, tidak seperti ibadah dimana orang yang mengatakannya perlu membawakan dalil atas ucapannya, seperti diketahui bahwa adat kebiasaan berbeda dari satu zaman ke zaman lain, dari satu tempat ke tempat lain, kecuali perkara yang telah pasti dilakukan oleh sahabat atau sebagiannya , lebih patut untuk diikuti dari pada yang lain.

Syeikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apa hukum ucapan selamat hari raya? Dan apakah ada ucapan tertentu?

Maka beliau menjawab: “ucapan selamat hari raya dibolehkan, dan tidak ada ucapan selamat yang khusus, tetapi apa yang biasa diucapkan oleh manusia dibolehkan selama bukan merupakan ucapan dosa”.

Dan beliau juga berkata:

“Ucapan selamat hari raya telah diamalkan sebagian sahabat radhiallahu anhum, seandainya hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh sahabat, namun hal tersebut sekarang telah menjadi perkara tradisi yang biasa dilakukan manusia, dimana sebagian mengucapkan selamat kepada yang lain dengan tibanya hari raya dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail”.

Dan beliau rahimahullah juga ditanya: apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan ucapan selamat hari raya setelah sholat Ied?

Beliau menjawab: perkara-perkara ini tidak mengapa dilakukan, karena manusia tidak menjadikannya bentuk ibadah dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla, namun hanya menjadikannya sebagai tradisi, memuliakan dan menghormati, selama tradisi tersebut tidak ada larangannya secara syarie maka dasarnya adalah boleh”. Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin (16/208-210).

Wallahu Alam Bishowab.

(ar/voa-islam.com)

Memilih, Menyemprot, dan Menyimpan Parfum


Wewangian merupakan salah satu “aksesoris” tak terlihat yang dikenakan wanita. Karenanya, diperlukan waktu khusus untuk menemukan aroma yang tepat. Tak berhenti di pemilihan, sesudah membeli parfum, Anda perlu mengetahui bagaimana cara menyemprot yang tepat, dan cara menyimpannya. Berikut tipsnya.

Mencari aroma yang tepat
Idealnya, aroma yang tepat untuk Anda adalah yang tetap Anda sukai setelah seharian dikenakan. Sebelum memilih, ketahui dulu aroma apa yang lebih Anda sukai, apakah aroma bunga-bungaan atau aroma buah-buahan? Anda juga perlu mengetahui akan dikenakan saat acara apa parfum tersebut. Jika untuk malam hari, cari wangi yang lebih kuat dan berat. Sementara untuk siang hari, cukup yang aromanya ringan dan segar.

Saat akan memilih beberapa aroma, berikan jeda setiap 3 aroma. Bawalah sweater atau scarf, saat memilih parfum, aroma wol bisa membantu membersihkan sisa aroma pada hidung Anda usai menghirup banyak aroma berlainan. Jika Anda sudah hampir pasti memilih aroma yang Anda suka, baru semprotkan pada lengan bagian dalam Anda, biarkan selama beberapa jam. Jika Anda masih menyukai wanginya setelah beberapa jam, berarti Anda sudah menemukan parfum Anda.

Semprotkan di tempat yang tepat
Fokuskan pada titik-titik nadi (bagian dalam pergelangan tangan, siku, dan bagian belakang lutut), biarkan cairan parfum meresap pada kulit. Jangan digesekkan, karena bisa mengubah aromanya. Tak usah semprotkan pada bagian belakang telinga, karena sudut-sudut tubuh yang panas tidak bisa menahan aroma terlalu lama. Molekul parfum menguap setelah sekian lama. Jika Anda membaca keterangan parfum, akan ada 3 bagian dalam parfum; top note (lapisan atas), middle note (lapisan tengah), dan base note (lapisan pusat). Top note adalah aroma yang pertama Anda cium, middle note dan base note merupakan bagian yang lebih kompleks dan bertahan lebih lama.
Menyimpan parfum yang tepat
Dua hal yang merupakan musuh parfum; cahaya dan suhu panas. Kedua elemen tersebut bisa mengubah warna dan aroma formula parfum. Simpan botol parfum jauh dari jendela, dan jangan disimpan di kamar mandi yang panas.

Memilih Parfum Sesuai Aroma Tubuh


Seperti juga saat memilih sepatu, pakaian, gaya rambut, atau makeup, Anda harus memilih parfum yang sesuai dengan diri Anda. Terdengar tak masuk akal? Pernahkah Anda mencium aroma parfum teman Anda, merasa tertarik dan membelinya, namun ketika Anda gunakan ternyata parfum itu tidak memberikan aroma yang dipancarkan oleh tubuh teman Anda? Inilah yang disebut "kepribadian" tadi. Kita memiliki kulit yang berbeda, dan kulit lah yang memungkinkan sebuah parfum menjadi hidup.

Tergantung kepribadian dan penampilan Anda, tone parfum bisa dipilih dari yang berkesan dalam, gelap, dan misterius (seperti aroma vanila, sandalwood atau cendana, danpatchouli atau nilam), hingga yang ringan, outgoing, dan romantis (seperti sitrus, mawar, gardenia, dan melati). Lalu, bagian dari kepribadian yang mana yang ingin Anda ekspresikan? Apakah Anda ingin menampilkan sisi yang tidak pernah dilihat orang sebelumnya? Anda bisa saja menampilkan irisan dari dua kepribadian tersebut, misalnya Anda menyukai wangi yang dalam seperti cendana, tetapi juga menikmati harumnya melati.

Perlu Anda ketahui, pada dasarnya parfum terdiri atas tiga lapisan:
Lapisan atas: Wangi yang langsung dapat Anda hirup saat parfum diaplikasikan, namun aroma ini akan segera menguap.
Lapisan tengah: Selama beberapa menit hingga 1 jam setelah parfum disemprotkan, Anda akan mencium lapisan tengahnya. Aromanya akan melembut.
Lapisan dasar: Bagian dasar adalah aroma yang lebih kaya, yang akan tercium setelah 30 menit. Wangi ini akan bercampur dengan lapisan tengah untuk memberikan wangi utama dari parfumnya.
Untuk membeli parfum yang sesuai dengan aroma tubuh Anda, lakukan hal-hal berikut:
1. Jangan mengenakan parfum saat Anda mendatangi counter parfum. Hiruplah beberapa contoh parfum yang dipajang. Pilih yang menarik untuk Anda, lalu catat namanya.

2. Usapkan atau semprotkan sedikit parfum yang Anda sukai, lalu berjalanlah berkeliling selama sekitar 15 menit. Hal ini akan memberi waktu bagi parfum untuk menyesuaikan dengan aroma tubuh Anda. Selama beberapa menit ini alkohol akan memudar, sehingga membuatnya lebih mudah untuk mengetahui wangi yang sebenarnya.

3. Setelah 15 menit, hiruplah bagian kulit dimana Anda menyapukan parfum. Apakah Anda masih menyukai harumnya? Jika tidak, kembalilah ke rak tempat memajang parfum. Anda bisa mencari parfum yang lain, namun simpan dulu jenisnya. Jangan mencoba dua macam parfum pada saat bersamaan, karena Anda akan sulit menemukan wangi yang Anda inginkan.

4. Begitu Anda telah memilih satu parfum tertentu dengan melakukan tes 15 menit tadi, bila memungkinkan, mintalah sampel parfum tersebut. Kenakan parfum selama sehari sebelum membelinya, untuk melihat berapa lama daya tahannya. Ingat, parfum adalah semacam investasi. Anda tak ingin menghabiskan banyak uang hanya untuk melihat parfum tersebut teronggok di dalam kotaknya bukan?

Setelah Anda membeli parfum, Anda juga tetap harus memperlakukan parfum tersebut dengan semestinya. Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Dos:
1. Anda tak perlu memakai satu parfum yang sama terus-menerus. Miliki beberapa jenis parfum untuk dipakai berganti-ganti. Sebaiknya Anda memilih wangi yang lebih ringan untuk kondisi apa pun, dan semprotkan beberapa kali dalam sehari. Udara panas akan membuat wangi parfum memudar lebih cepat, sedangkan udara dingin menguatkan aromanya.
2. Sebaiknya beli parfum pada sore hari, ketika indera penciuman Anda tengah berada di puncaknya.
3. Gunakan lebih banyak parfum bila kulit Anda tergolong kering. Anda harus menyemprotkan parfum lebih sering daripada orang yang kulitnya cenderung berminyak.
4. Gunakan parfum setelah Anda mandi dan mengeringkan tubuh dengan sempurna.
Don'ts:
1. Jangan memakai parfum berlebihan. Parfum yang terlalu tajam akan membuat atasan Anda pusing seharian.
2. Jangan menyemprotkan parfum di dekat mutiara atau perhiasan lain, karena parfum mengandung alkohol yang dapat membuat merusak perhiasan tersebut.
3. Jangan mengkombinasikan parfum dengan deodoran atau sabun deodoran. Kombinasi aromanya akan menjadi tidak menyenangkan.
4. Jangan menggosok parfum yang baru disemprotkan ke kulit. Menggosok akan merusak molekul, dan mengubah lapisannya.
5. Parfum biasanya akan berakhir setelah tiga tahun (sejak diproduksi). Jangan menyimpan botol parfum dimana akan terekspos suhu tinggi atau sinar matahari. Bahkan, cologne dan eau de toilette sebaiknya disimpan di dalam lemari es untuk meningkatkan daya tahannya.

Kisah Jasad Nabi Muhammad SAW yang Hendak Dicuri

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGh-3JKq2l66WYL_sPQZcrZ2A4db7ZGrrgNKibcF0MNk6nvTMwglVEZ1JGzm83oGKDT7sLgAEtikhINKuqoMy-SQUhjEK53Kss-46iI5wpkQuoNH2SLVTL1uBYO3sVuMCHHKmU1Rw7cGUY/s320/Maqam+Nabi+muhammad+zul.JPG

Percaya gak, klo ternyata jasad nabi Muhammad SAW pernah terusik dan nyaris di curi oleh orang kafir laknatullah. Sebelum akhirnya Allah menyelamatkannya dari rencana jahat yang mengancam sang nabi tercinta. Peristiwa yang memilukan dan nyaris menampar wajah umat islam ini terjadi pada tahun 1164 M atau 557 H, sebagaimana telah dicatat oleh sejarawan Ali Hafidz dalam kitab Fusul min Tarikhi AL-Madinah Al Munawaroh.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar orang yang berziarah ke masjid Nabawi pasti tak pernah lupa untuk menghampiri makam Rasulullah yang diapit oleh makam Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Mereka berbondong-bondong menuju makam sang nabi Fenomenal itu. Untuk sekedar melihat atau berdoa.

Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh kondisi umat islam pada masa dinasti Abbasiyah di Baghdad dimana kondisi umat Islam yang semakin melemah dan berdiri beberapa kerajaan Islam di beberapa daerah. Tentunya hal ini tak di sia-siakan begitu saja oleh orang-orang nasrani yang merasa kesempatan emas mencoreng wajah umat Islam dan membuat umat Islam jatuh ada di depan mata. Karena ternyata diketahui diam-diam mereka telah menyusun rencana untuk mencuri jasad Nabi Muhammad. Setelah terjadi kesepakatan oleh para penguasa Eropa, mereka pun mengutus dua orang nasrani untuk menjalankan misi keji itu. Misi itu mereka laksanakan bertepatan dengan musim haji. Dimana pada musim itu banyak jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji. Kedua orang nasrani ini menyamar sebagai jamaah haji dari Andalusia yang memakai pakaian khas Maroko. Kedua spionase itu ditugaskan melakukan pengintaian awal kemungkinan untuk mencari kesempatan mencuri jasad Nabi SAW.

Setelah melakukan kajian lapangan, keduanya memberanikan diri untuk menyewa sebuah penginapan yang lokasinya dekat dengan makam Rasulullah. Mereka membuat lubang dari dalam kamarnya menuju makam Rasulullah.

Belum sampai pada akhir penggalian, rencara tersebut telah digagalkan oleh Allah melalui seorang hamba yang akhirnya mengetahui rencana busuk itu

Sultan Nuruddin Mahmud bin Zanki, adalah seorang hamba sekaligus penguasa Islam kala itu yang mendapatkan petunjuk melalui mimpi akan ancaman terhadap makam Rasulullah.

Sultan mengaku bermimpi bertemu dengan Rasulullah sambil menunjuk dua orang lelaki berambut pirang dan berujar: “ Wahai Mahmud, selamatkan jasadku dari maksud jahat kedua orang ini.” Sultan terbangun dalam keadaan gelisah lalu beliau melaksanakan sholat malam dan kembali tidur. Namun, Sultan Mahmud kembali bermimpi berjumpa Rasulullah hingga tiga kali dalam semalam.

Malam itu juga Sultan segera mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan dari damaskus ke madinah yang memakan waktu 16 hari, dengan mengendarai kuda bersama 20 pengawal serta banyak sekali harta yang diangkut oleh puluhan kuda. Sesampainya di Madinah, sultan langsung menuju Masjid Nabawi untuk melakukan sholat di Raudhah dan berziarah ke makam Nabi SAW. Sultan bertafakur dan termenung dalam waktu yang cukup lama di depan makam Nabi SAW.

Lalu menteri Jamaluddin menanyakan sesuatu, “Apakah Baginda Sultan mengenal wajah kedua lelaki itu? “Iya”, jawab Sultan Mahmud.

Maka tidak lama kemudian Menteri Jamaludin mengumpulkan seluruh penduduk Madinah dan membagikan hadiah berupa bahan makanan sambil mencermati wajah orang yang ada dalam mimpinya. Namun sultan tidak mendapati orang yang ada di dalam mimpi itu diantara penduduk Madinah yang datang mengambil jatah makanan. Lalu menteri Jamaluddin menanyakan kepada penduduk yang masih ada di sekitar Masjid Nabawi. “Apakah diantara kalian masih ada yang belum mendapat hadiah dari Sultan?”

Tidak ada, seluruh penduduk Madinah telah mendapat hadiah dari Sultan, kecuali dua orang dari Maroko tersebut yang belum mengambil jatah sedikitpun. Keduanya orang saleh yang selalu berjamaah di Masjid Nabawi.” Ujar seorang penduduk.

Kemudian Sultan memerintahkan agar kedua orang itu dipanggil. Dan alangkah terkejutnya sultan, melihat bahwa kedua orang itu adalah yang ia lihat dalam mimpinya. Setelah ditanya, mereka mengaku sebagai jamaah dari Andalusia Spanyol. Meski sultan sudah mendesak bertanya tentang kegiatan mereka di Madinah. Mereka tetap tidak mau mengaku. Sehingga sultan meninggalkan kedua lelaki itu dalam keadaan penjagaan yang ketat.

Kemudian sultan bersama menteri dan pengawalnya pergi menuju ke penginapan kedua orang tersebut. Sesampainya di rumah itu yang di temuinya adalah tumpukan harta, sejumlah buku dalam rak dan dua buah mushaf al-Qur’an. Lalu sultan berkeliling ke kamar sebelah. Saat itu Allah memberikan ilham, sultan Mahmud tiba-tiba berinisiatif membuka tikar yang menghampar di lantai kamar tersebut. Masya Allah, Subhanallah, ditemukan sebuah papan yang di dalamnya menganga sebuah lorong panjang, dan setelah diikuti ternyata lorong itu menuju ke makam Nabi Muhammad.

Seketika itu juga, sultan segera menghampiri kedua lelaki berambut pirang tersebut dan memukulnya dengan keras. Setelah bukti ditemukan, mereka mengaku diutus oleh raja Nasrani di Eropa untuk mencuri jasad Nabi SAW. Pada pagi harinya, keduanya dijatuhi hukum penggal di dekat pintu timur makam Nabi SAW. Kemudian sultan Mahmud memerintahkan penggalian parit di sekitar makam Rasulullah dan mengisinya dengan timah. Setelah pembangunan selesai, sultan Mahmud dan rombongan pulang ke negeri Syam untuk kembali memimpin kerajaannya

Inilah Hukum Sholat Jum'at pada Hari Raya Idul Fitri

Pertanyaan: Assalamualaikum wr wb. Mau Tanya. Kata Ustadz di kampung saya, karena Idul Adha besok jatuh pada hari Jumat, maka tidak wajib sholat Jumat. Apakah benar? Apa dalilnya? Jz. (Imroatun Azizah, Bantul).


Jawaban:
1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun ini (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa:
“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”
Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar/ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.

2. Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.
Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.

2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata : “Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” [Shallan nabiyyu shallallaahu 'alayhi wa sallama al 'iida tsumma rakhkhasha fil jumu'ati tsumma qaala man syaa-a an yushalliya falyushalli] (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda : “Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” [Qad ijtama'a fii yawmikum haadza 'iidaani, fa man syaa-a ajza-a-hu minal jumu'ati, wa innaa mujammi'uun] (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan. Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”
Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar/ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum.

2.2. Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat). Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.

2.3. Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.

2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.”
Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat.

3. Meninjau Pendapat Lain
3.1. Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata : “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…”
Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… “
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.
3.2. Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i. Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat menurut kami.
3.3. Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.
Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu:
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya : “Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” ['Iidaani ijtama'aa fii yawmin waahidin, fajamma'ahumaa fashallahumaa rak'atayni bukratan lam yazid 'alayhaa hattaa shallal 'ashra]
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.
Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur.

4. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal.
KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Perbedaan Dasar Antara Otak Kiri Dan Otak Kanan

Otak manusia terbelah dalam dua bagian. Kedua belahan otak bertanggung jawab silang, maksudnya belahan otak kanan bertanggung jawab terhadap tubuh bagian kiri dan sebaliknya.

Hal ini berarti bila otak kanan seseorang lebih dominan, maka orang tersebut cenderung menjadi kidal atau aktif dengan bagian tubuh kiri. Kedua belahan otak sangat identik tapi berbeda fungsi. Masing-masing otak berperilaku berbeda.


Otak adalah organ tubuh yang paling vital dan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Jika manusia diibaratkan sebuah komputer, otak adalah prosesornya.


Otak manusia terdiri lebih dari 100 miliar saraf yang masing-masing terkait dengan 10 ribu saraf lain. Otak adalah organ tubuh vital yang merupakan pusat pengendali sistem saraf pusat.


Otak manusia terbagi menjadi dua dan dibatasi oleh celah longitudinal. Celah longitudinal disebut juga dengan celah great longitudinal atau celah longitudinal cerebral merupakan alur dalam yang memisahkan kedua belahan otak manusia.


Ada keuntungan manusia memiliki otak yang terintegrasi. Dengan dua permukaan permukaan menjadi lebih luas, yang memungkinkan untuk pertumbuhan dan pendinginan. Dengan dengan dua belahan, otak menjadi memiliki fungsi masing-masing.


Otak belahan kiri dan belahan kanan memiliki fungsi masing-masing, berikut fungsi masing-masing belahan otak:


Otak belahan kiri

Otak kiri dicirikan dengan karakteristik yang berhubungan dengan kemampuan analisis, logis, urutan, objektif dan rasional. Dengan karakterisitik ini, orang yang dominan menggunakan otak kiri cenderung memiliki pendekatan rasional terhadap kehidupan.


Orang yang dominan otak kiri akan lebih tertarik dengan angka, kata-kata atau simbol. Dengan cara berpikirnya yang logis dan rasional, individu dengan dominansi otak kiri cenderung melakukan kemampuan analisa dengan baik. Misalnya dalam bidang teknik atau akutansi.


Orang dengan dominasi otak kiri berpengalaman dalam perencanaan, dan orang ini jarang sekali melakukan persiapan di saat-saat terakhir.


Otak belahan kanan

Di sisi lain, karakteristik yang terkait dengan otak kanan adalah intuitif, acak, subjektif, holistik (secara menyeluruh) dan sintesis. Dengan karakteristik ini, orang yang dominan dengan otak kanan cenderung lebih kreatif ketimbang orang yang dominan otak kiri.


Kenyataan bahwa orang dengan dominansi otak kanan lebih cenderung menyukai aspek visual, sehingga orang-orang tersebut jarang menanggapi masalah secara rinci.


Individu dengan dominansi otak kanan cenderung lebih kreatif dan intuitif, baik di bidang seni yang kreatif, maupun di bidang-bidang lainnya. Individu tersebut memiliki waktu yang tepat untuk memprioritaskan hal-hal yang sulit, karena sebagian besar keputusan yang dibuat pada saat terakhir.


Jika dua individu diberikan beberapa kasus, satu dengan dominansi otak kanan dan yang lainnya dengan dominansi otak kiri, orang dengan dominansi otak kanan akan mulai bekerja tanpa melalui manual instruksi. Sedangkan individu dengan dominansi otak kiri akan melakukannya melalui manual, memahami konsep, baru kemudian menangani kasus tersebut.

10 Bangunan Terbaik Dekade Ini

1. Millennium Dome, London, Tahun 2000
Didesain oleh the Richard Rogers Partnership dan engineers Buro Happold, diameternya 365 meter dengan puncaknya mencapai 100 meter. Saat ini tenda raksasa seukuran titanic ini masih merupakan sesuatu yang sangat impresif dilihat dari desain dan dimensinya.

2. Blur, Expo 02, Yverdon-les-Bains, 2002
Pavilion sensasional ini didesain oleh arsitek-arsitek New York, Diller + Scofidio, dulunya merupakan bintang di acara Switzerland’s Expo 02. Layaknya ayunan kucing dari besi tensil, dengan tinggi 20 meter dan panjang 100 meter, mengumpul di ujung dermaga yang terbuat dari baja dan kaca di atas danau Neutchatel. Di dalamnya, 30 ribu water jet menciptakan kabut awan yang tidak pernah berhenti.

3. Serpentine Pavilion, London, 2002
Pavilion indah ini didesain oleh arsitek Toyo Ito dan engineer Cecil Balmond, dibangun sebagai acuan suatu arsitektur di masa depan, dimana batasan dinding-dinding, lantai, langit-langit, interior, dan eksteriornya seolah menyatu. Istilah jaman sekarang, canggih dan minimalis.

4. 30 St Mary Axe, London, 2003
Awalnya "ketimun" milik Norman Foster ini dikagumi sekaligus dicemooh. Kebanyakan terpesona oleh bangunan kantornya ini, meski beberapa lagi mengira itu mewakili ambisi berlebihan dari kotanya. Disini terdapat skygardens yang mempesona dan restoran ternama yang mendunia.

5. European Southern Observatory Hotel, Cerro Paranal, Chili, 2003
"Hotel" ini untuk para ahli astronomi yang bekerja di gurun Atacama, merupakan gabungan yang sempurna antara arsitektur dan landscpae, dari praktisi Munich, Auer dan Weber, serta engineer Mayr dan Ludescher. Geometrik dinding-dinding beton merah yang cantik membentuk halaman gaya biara dan pura, di belakangnya ruangan-ruangan yang berbaris banyak.

6. Beijing National Stadium, Beijing, 2008
Stadion berkapasitas 80 ribu tempat duduk ini didesain oleh arsitek-arsitek Swiss Herzog and de Meuron dan juga seniman Cina, Ai Weiwei, merupakan bangunan landmark bagi acara Olimpiade 2008. Terdiri dari dua bangunan utama, salah satunya berada di dalam lainnya: suatu mangkok beton raksasa berwarna merah untuk tempat duduk dikelilingi oleh "sarang burung" baja raksasa.

7. Stasiun Kereta St Pancras, London, 2007
Merupakan kebangkitan luar biasa dari ujung penghabisan rel jaman Victorian Gothic, saat ini merupakan salah satu stasiun terbesar di dunia. Alastair lansley memimpin timnya selama lebih dari satu dekade, merubah gaya arsitektur abad 19 dan menjadikannya rumah bagi kereta-kereta cepat abad 21. Di sini juga terdapat hotel dan flat penthouse bagi yang ingin bermalam.

8. Le Viaduc de Millau, Aveyron, 2004
Jembatan yang indah dan mengagumkan ini melewati Lembah tarn di selatan Perancis. Didesain oleh engineer Michel Virlogeux dan Norman Foster, jembatan Viaduc de Millau ini paling indah dilihat dari puncak sisi lembahnya, terutama saat ujung-ujung tiang jembatannya muncul di antara awan-awan di musim panas. (Baca selengkapnya di sini)

9. Neues Museum, Berlin, 2009
Setelah 10 tahun rekonstruksi yang melelahkan, bangunan budaya abad 19 yang ditutup tahun 1939 ini kembali dibuka dan menjadi populer. Didesain ulang secara kompleks dan inteligent oleh arsitek Inggris David Chipperfield, yang tidak menghilangkan nuansa bangunan klasiknya meski harus disesuaikan perkembangan teknologi saat ini.

10. Burj Dubai, Bangunan Tertinggi di Dunia, Segera Diresmikan
Tingginya yang menjulang ke langit hingga 818 meter, ekuivalen dengan bangunan Empire State Building plus Chrysler Building di atasnya. Didesain oleh Adrian Smith da Bill Baker dari Chicago, al-Burj memiliki 160 lantai kamar hotel, apartemen gaya Armani dan perkantoran.

sumber: http://aneh-tapi-nyata.blogspot.com/2009/12/10-bangunan-terbaik-dekade-ini.html

Penemu Telepon Yang Sebenarnya

Antonio Santi Giuseppe Meucci, (lahir 13 April 1808 – meninggal 18 Oktober 1889 pada umur 81 tahun) adalah seorang penemu berkebangsaan Italia yang penemuannya merupakan alat komunikasi modern yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekarang ini untuk kehidupan sosial yaitu telepon. Umumnya penemu telepon yang lebih dikenal masyarakat adalah Alexander Graham Bell, tetapi sepertinya sejarah harus ditulis ulang karena adalah seorang imigran dari Firenze (Florence), Italia yang bernama Antonio Meucci yang telah menciptakan telepon pada tahun 1849 dan mematenkan hasil karyanya pada tahun 1871.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/75/Antonio_Meucci.jpg

Antonio Meucci lahir di San Frediano, dekat kota Firenze pada tahun 1808. Dia adalah lulusan Akademi Kesenian Firenze, lalu bekerja di Teatro della Pergola sampai tahun 1835, dan kemudian ditawari pekerjaan di Teatro Tacon in Havana, Kuba dan berimigrasi di sana bersama istrinya. Pada waktu senggangnya Antonio Meucci suka melakukan penyelidikan terhadap sesuatu dan menciptakan barang-barang baru tanpa putus asa. Meucci telah mengembangkan cara menggunakan setrum listrik untuk menyembuhkan penyakit dan menjadi populer karenanya.

http://www.chezbasilio.it/immagini/meucci_85.jpg
http://www.hebrewhistory.info/images/factpaper/27-I.3.gif

Pada tahun 1850, dia pindah ke Staten Island, New York. Pada saat itu Meucci jatuh miskin, tetapi masih terus menyempurnakan alat yang telah diciptakannya yaitu telepon. Dikarenakan ia sakit keras dan perekonomian yang sulit, istrinya terpaksa menjual beberapa alat-alat ciptaannya hanya seharga enam dolar untuk biaya pengobatan. Setelah sembuh, Meucci bekerja keras siang dan malam untuk kembali membuat alat-alat ciptaannya. Pada tahun 1871, disebabkan tak cukup uang untuk membayar paten telepon, ia hanya membayar paten sementara yang berlaku untuk setahun dan harus diperpanjang pada tahun selanjutnya.

http://www.jergym.hiedu.cz/~canovm/objevite/objev4/meu_soubory/meucci_old.jpg

Meucci mencoba untuk mendemonstrasikan potensi "telegraf berbicara" ini serta membawa model dan segala keterangannya pada wakil ketua perusahaan telegraf Western Union. Setiap kali Meucci hendak menemui wakil ketua ini, Edward B.Grant selalu mengatakan bahwa dia tak ada waktu. Dua tahun kemudian, saat Meucci meminta kembali semua materi telepon di perusahaan tersebut, ternyata mereka hanya mengatakan telah "hilang".

http://www.telephoneteca.com/images/Meucci_2.jpg

Pada tahun 1876, Alexander Graham Bell menyandang nama sebagai penemu telepon. Setelah Meucci mengetahuinya, ia memanggil seorang pengacara untuk memprotes pada Kantor Paten Amerika Serikat di Washington. Meucci mengalami kekalahan untuk kasus ini. Setelah adanya permusuhan antara Alexander Graham Bell dengan Western Union baru terungkap bahwa Bell sebelumnya telah menyetujui membayar duapuluh persen keuntungan komersil atas "penemuannya" selama 17 tahun kepada Western Union. Antonio Meucci wafat pada tanggal 18 Oktober 1889.

http://www.biografiasyvidas.com/biografia/m/fotos/meucci.jpg

Lebih dari seabad dan di seluruh penjuru dunia, Alexander Graham Bell dikenal sebagai penemu telepon. Tetapi pada tanggal 11 Juni 2002 di kongres Amerika Serikat, Antonio Meucci ditetapkan sebagai penemu telepon.

Wah, Ternyata Arti Minal ‘Aidin wal Faizin bukan Mohon Maaf Lahir Batin

Uraian Artikel: Ucapan ini: Selamat Hari Raya Idul Fitri, Taqobalallahu Minnaa wa Minkum, Minal 'Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir Batin, merupakan ucapan yang biasa disampaikan dan diterima oleh kaum muslimin di hari lebaran baik melalui lisan ataupun kartu ucapan idul fitri. Ada dua kalimat yang diambil dari bahasa arab di sana, yaitu kalimat ke dua dan tiga. Apakah arti kedua kalimat itu? Dari mana asal-usulnya? Sebagian orang kadang cukup mengucapkan minal 'aidin wal faizin dengan bermaksud meminta maaf. Benarkah dua kalimat yang terakhir memiliki makna yang sama?

Para Sahabat Rasulullah biasa mengucapkan kalimat Taqobalallaahu minnaa wa minkum di antara mereka. Arti kalimat ini adalah semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian. Maksudnya, menerima amal ibadah kita semua selama bulan Ramadhan. Para sahabat juga biasa menambahkan: shiyamana wa shiyamakum, semoga juga puasaku dan kalian diterima.

Jadi kalimat yang ke dua dari ucapan selamat lebaran di atas memang biasa digunakan sejak jaman para Sahabat Nabi hingga sekarang.

Lalu bagaimana dengan kalimat: minal 'aidin wal faizin? Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, kalimat ini mengandung dua kata pokok: 'aidin dan faizin (Ini penulisan yang benar menurut ejaan bahasa indonesia, bukan aidzin,aidhin atau faidzin,faidhin. Kalau dalam tulisan bahasa arab: من العاءدين و الفاءيزين )

Yang pertama sebenarnya sama akar katanya dengan 'Id pada Idul Fitri. 'Id itu artinya kembali, maksudnya sesuatu yang kembali atau berulang, dalam hal ini perayaan yang datang setiap tahun. Sementara Al Fitr, artinya berbuka, maksudnya tidak lagi berpuasa selama sebulan penuh. Jadi, Idul Fitri berarti "hari raya berbuka" dan 'aidin menunjukkan para pelakunya, yaitu orang-orang yang kembali. (Ada juga yang menghubungkan al Fitr dengan Fitrah atau kesucian, asal kejadian)

Faizin berasal dari kata fawz yang berarti kemenangan. Maka, faizin adalah orang-orang yang menang. Menang di sini berarti memperoleh keberuntungan berupa ridha, ampunan dan nikmat surga. Sementara kata min dalam minal menunjukkan bagian dari sesuatu.

Sebenarnya ada potongan kalimat yang semestinya ditambahkan di depan kalimat ini, yaitu ja'alanallaahu (semoga Allah menjadikan kita).

Jadi, selengkapnya kalimat minal 'aidin wal faizin bermakna (semoga Allah menjadikan kita) bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah). Jelaslah, meskipun diikuti dengan kalimat mohon maaf lahir batin, ia tidak mempunyai makna yang serupa. Bahkan sebenarnya merupakan tambahan doa untuk kita yang patut untuk diaminkan.

Wallahu a'lam.

Rabu, 08 September 2010

Sejarah Adanya Mudik Di Indonesia


Hari raya idul fitri atau lebaran mempunyai ciri khas yaitu kegiatan pulang kampung alias mudik. Bagi sebagian besar orang mudik adalah kegiatan utama dalam menyambut hari besar ummat islam ini. Kembali ke kampung halaman menjadi impian sebagian besar masyarakat kita yang merayakan lebaran. Terutama bagi warga dari kota-kota besar di Indonesia. Pulang ke tanah kelahiran seolah menjadi keharusan ketika akan merayakan lebaran. Tak peduli dengan apapun kemungkinan yang akan terjadi di jalan mereka berusaha untuk mencapai kampungnya demi melepas rindu dan silaturahim dengan sanak saudara.

Mudik sebagai sebuah fenomena sosial memang patut dicermati. Berdasarkan penelusuran sejarah mudik merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala (prasejarah). Menelusuri sejarah manusia Indonesia yang merupakan keturunan Melanesia yang berasal dari yunani, China. Nenek moyang bangsa Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa pengembara. Mereka mengembara ke seluruh daerah untuk mencari sumber penghidupan. Setelah menemukan tempat yang cocok untuk mengembangkan pertanian maupun peternakan maka mereka akan menetap di daerah tersebut.

Seperti layaknya manusia yang memiliki kerinduan terhadap sanak saudara. Manusia pra sejarah juga memiliki momentum tertentu untuk kembali ke daerah asalnya. Kegiatan seperti ritual penyembahan terhadap arwah nenek moyang menjadi alasan mereka kembali ke tanah leluhur mereka. Pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, mereka berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk kembali ke tanah asalnya. Karena saat itu agama belum berkembang, animisme dan dinamisme menjadi latar belakang kegiatan mudik.

Perlahan budaya mudik pun mulai berubah motifnya. Pada era kerajaan majapahit kegiatan mudik menjadi tradisi besar yang dilakukan oleh warga kerajaan. Setiap tahun masyarakat beramai-ramai dari seluruh negeri (Filipina, Malaysia, Thailand, Brunei, dll) yang pada saat itu berada dalam wilayah kerajaan majapahit menuju ke pulau Jawa. Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan saat itu menjadi tujuan utama pemudik.

Semenjak masuknya islam ke Indonesia mudik juga mengalami perubahan. Mudik yang berasal dari kata udik yang artinya kampung dan beralih bahasa dengan penambahan “m” berarti kembali ke kampung. Perubahan yang ada yaitu perubahan motif, momentum hari raya iedul fitri menjadi alasan mudik. Mudik adalah sarana untuk berkumpul bersama keluarga serta silaturahmi dengan kawan serta kerabat. Karena orang yang rajin bersilaturahmi akan dimudahkan rizkinya oleh Allah SWT serta dimudahkan urusannya. Sudahkah anda mudik dan bertemu sanak famili serta handai tolan anda??

Lowongan Kerja Di NASA Hanya Di Gaji Untuk Tidur & NgeGame

Mana ada kerjaan seenak ini kecuali dari NASA (Badan Antariksa Amerika) ini, anda akan dibayar hanya untuk tiduran dan sambil bermain game atau baca buku.



Dengan bayaran (gaji) per hari mencapai US$ 160 (sekitar Rp. 1.600.000) serta ditambah seluruh biaya perjalanan dan hotel akan ditanggung oleh NASA, yang perlu anda lakukan hanya tidur di ranjang sambil bermain game.

Lowongan ini terbuka untuk siapa saja yang mau.

Penelitian yang akan dilakukan oleh NASA kali ini adalah efek gravitasi yang akan timbul bila seseorang selalu berada dan bekerja di tempat tidur.



Hmmmm . . . . kelihatannya enak juga yah, dibayar 1,6 juta Rupiah per hari hanya untuk tiduran dan bermain game tapi tunggu dulu, kalau satu hari sih enak, bagaimana kalau dilakukan selama 1 bulan??1 tahun???

Ada yang mau melamar untuk posisi ini??

Poster-poster film yang lucu

























Related Posts with Thumbnails