Ah, komik Indonesia. Sebuah frase yang bisa memunculkan berbagai macam reaksi. Lebih merupakan sebuah pergerakan underground, komik Indonesia seolah naik turun. Publikasi pun jarang selain beberapa artikel lepas yang ditulis oleh para pengamat komik Indonesia.
Sering, artikel-artikel tersebut yang membahas komik Indonesia menceritakan tentang era keemasan komik Indonesia di zaman 70-an, dan beberapa talenta yang ada di komik Indonesia sekarang. Artikel demikian memang ada benarnya. Tapi saya tidak akan membahas hal seperti itu, karena secara realistis, komik Indonesia tidak menjual. Hal seperti itu menurut saya hanya membuat komik Indonesia terjebak dalam nostalgia dan optimisme kosong.
Kenapa bisa demikian? Kita sekarang hidup di era informasi. Salah satu industri yang paling untung sekaligus paling rugi di era ini adalah industri hiburan. Untung, karena industri hiburan paling bisa memanfaatkan teknologi seperti internet. Rugi, karena terjadi oversaturasi. Ya, oversaturasi. Lihat saja di toko buku dan seberapa banyak komik Jepang yang tersedia, lihat di toko atau persewaan DVD berapa banyak game, anime, dan film yang tersedia, semua dengan kualitas tinggi (dalam artian teknis). Tanya seorang penikmat game apakah dia telah memainkan semua game yang ingin ia mainkan dan jawabannya kemungkinan besar adalah tidak. Waktu tetap terbatas, tapi akses ke hiburan semakin luas.
Di era ini, komik Indonesia tidak punya kesempatan untuk tumbuh sebelum memasuki pasar global seperti komik Jepang, Amerika, atau Eropa, padahal industri hiburan sudah memasuki pasar global. Jadi, mari kita membahas satu per satu masalah yang dihadapai komik Indonesia mulai dari masalah internal:
- Kurangnya mainstream appeal.
Toni Masdiono, seorang komikus senior Indonesia mengatakan “hindari penggambaran adegan kekerasan, kekejaman, pornografi, sadisme apalagi secara berlebihan dalam komik.” Saya suka idealisme ini, tapi secara realistis, komersialisme menang terhadap idealisme. Tanpa panjang lebar, komik Jepang dan Amerika akan mati (atau setidaknya tidak sebesar sekarang) jika mendahulukan idealisme daripada komersialisme. Faktanya adalah, cerita dengan pornografi dan kekerasan lebih menjual.
2. Kurangnya ketrampilan dan pemahaman struktur dari komikus Indonesia sendiri.
Saya akan jujur di sini, kebanyakan komikus modern Indonesia tidak memiliki kemampuan yang bagus. Mungkin mereka ilustrator yang bagus, tapi komik adalah gabungan tulisan dan gambar, kemampuan dalam keduanya dan kemampuan menggabungkan keduanya adalah hal yang perlu dilatih tersendiri. Salah satu contoh masalahnya: kebanyakan komikus modern Indonesia memiliki kemampuan rendah dalam menggambar background. Melihat budaya ilustrasi yang berfokus pada karakter, hal ini dapat dimengerti.
3. Lingkungan yang tidak kondusif terhadap perkembangan komik
Atau bahkan terhadap seni secara umum saja lingkungannya tidak kondusif. Ada 2 cara untuk melatih seni: cara yang “benar” dan cara yang “keras”. Cara yang “benar” yaitu dengan mempelajari teori di balik pembuatannya, bisa dibilang tidak ada di Indonesia. Indonesia bisa dibilang tidak memiliki sekolah khusus yang dapat mengajarkan ketrampilan-ketrampilan membuat komik. Textbook tentang menggambar komik (atau seni menggambar secara umum saja) pun tidak tersedia secara bebas. Sedangkan cara yang “keras” yaitu terus mengasah kemampuan diri sendiri tanpa mempelajari lebih dulu teori. Tapi antara pembuatan yang susah dan demand yang kecil (mengingat masih besar stigma bahwa komik konsumsi anak-anak), sulit mengharapkan para komikus Indonesia terus mengasah dirinya.
4. Kurangnya motivasi komikus Indonesia.
Tapi mungkin saya terlalu keras di poin sebelumnya. Mungkin sebagian memiliki kemampuan tersebut tapi tidak berusaha sepenuhnya. Tidak heran, mengingat membuat komik adalah bekerja keras dengan imbalan yang sedikit. Editor komik Jepang mengatakan “30 halaman sebulan adalah kurang lebih kemampuan maksimum seorang komikus seorang diri tanpa asisten.“ Di Indonesia yang membuat komik menjadi pekerjaan sekunder dan melihat potensi keuntungan 1 volume buku komik, saya meragukan motivasi para komikus untuk mengeluarkan segenap kemampuannya jika tidak memiliki idealisme yang tinggi.
5. Oversaturasi hiburan
Hal ini telah saya bahas di awal. Bahkan apabila seorang komikus bisa mengatasi semua masalah internal yang saya sebutkan di poin-poin di atas, masalah eksternal ini jauh lebih bermasalah. Di tengah oversaturasi ini, yang mendapat publikasi paling besarlah yang menang, seperti game-game high-profile seperti Call of Duty dan film-film Hollywood seperti New Moon. Dan seperti yang telah saya sebutkan, komik Indonesia kurang publikasi. Tidak jarang, saya sendiri baru sadar akan keberadaan sebuah komik Indonesia yang terdengar menarik setelah dibahas di sebuah artikel jauh setelah komik tersebut diterbitkan. Majalah komik Indonesia, Sequen juga terbukti berumur pendek.
Di sini, saya teringat akan perkataan Takao Saito, seorang komikus senior Jepang ketika ditanya apa hal terpenting yang diperlukan untuk menjadi komikus:
“Keberuntungan”
“Memiliki bakat hanyalah sebuah syarat. Kalau kamu ingin memasuki dunia ini, kamu harus memiliki bakat. Yang lebih penting adalah untuk memulai debut, untuk membuat namamu diketahui, untuk bertahan, kamu memerlukan sesuatu… yang melebihi bakat. Aku hanya bisa menyebutnya keberuntungan. Aku telah melihat banyak orang berbakat yang menghilang dan tak dikenal lagi karena tidak memiliki keberuntungan.”
sumber http://www.gamequarters.net/?p=8088
gila pinter banget ini yang ngeriset.. skripsinya posti lancar
BalasHapus